WARNANTT - Salah satu hal yang menkhawatirkan dari pandemi Covid-19 adalah tingginya tingkat kematian pasien Covid-19. Apalagi, untuk pasien yang dengan penyakit penyertaan atau sering disebut komorbid.
Dalam konteks Covid-19, pasien dengan komorbid memiliki tingkat mortalitas atau kematian yang lebih tinggi daripada pasien Covid tanpa penyakit penyerta. Paparan Covid-19 pada orang yang memiliki komorbid, seperti penderita diabetes, dapat memengaruhi paru-paru, jantung, ginjal, dan hati.
Dalam sebuah penelitian, komorbid yang paling umum pada pasien Covid-19 adalah diabetes, kardiovaskular, dan penyakit sistem pernapasan.
Potensi kematian yang tinggi pada pasien yang terpapar Covid-19 ini, membuat pemerintah berupaya sangat serius untuk segera mengatasi Covid-19 agar pandemi ini segera berakhir.
Berdasarkan data dari Satgas Covid-19, jumlah kasus Covid-19 di NTT pada Rabu (17/3) ini sudah mencapai 11,208 kasus, sebanyak 2.138 kasus masih dirawat, 8.761 kasus sembuh dan 309 meninggal dunia, dikutip dari tribunnews.com.
Untuk pasien yang meninggal akibat Covid-19, sudah ditetapkan prosedur tetap (protap) yang harus dipatuhi dan dilakukan dengan ketat. Karena itu, pemerintah memutuskan untuk prosedur pemakaman jenasah pasien Covid-19 dilakukan oleh pemerintah.
Beberapa prosedur yang sangat ketat dilakukan saat pemakaman jenazah pasien Covid-19. Keluarga tidak diperkenankan untuk melakukan pemakaman, bahkan untuk mendekat saja tidak diijinkan.
Baca juga:
Pasien COVID-19 di Sikka Meninggal, Keluarga Histeris Tak Bisa Lihat Korban
Kawal Covid-19 Soroti Kenaikan Angka Kematian Pasien di Jakarta
Mencermati prosedur pemakaman yang sangat khusus dan tingkat kematian yang juga tinggi, maka pemerintah seharusnya menyediakan sumber daya dan dukungan kebijakan maupun anggaran yang memadai untuk terpenuhinya prosedur ini.
Prosedur penanganan jenazah, maupun pengusungan jenazah hingga proses pemakaman jenazah melibatkan petugas-petugas yang tidak saja terlatih tetapi juga berani menghadapi resiko tertular.
Selain itu juga mampu menghadapi kemungkinan perilaku tidak menyenangakan dari pihak keluarga yang mungkin saja melakukan tindakan-tindakan yang diluar prosedur penanganan dan pemakaman pasien Covid-19.
Para petugas khusus yang sudah dlengkapi dengan APD yang boleh mengusung jenazah tersebut. Mereka harus tetap siap, kapanpun pemakaman harus dilakukan, tidak kenal waktu, pagi. Siang ataupun malam hari di saat orang lain sedang terlelap karena jenasah pasien covid-19 yang harus segera dimakamkan.
Sekali lagi, mereka yang mengusung jenazah ini, tentunya merupakan orang yang berani menerima risiko terutama terkena Covid-19. Bukan hanya mereka tapi juga keluarga dan orang di sekitar mereka sangat rentan terkena Covid. Mereka harus berani menantang potensi terpapar bahkan kematian bila terpapar.
Pada sisi, lain, ada cerita miris mengenai orang-orang yang berani mengambil resiko ini. Seperti diungkap salah satu petugas pengusung jenazah dari Kota Kupang. Mereka harus menunggu tanpa kepastian kapan upah mereka dibayar.
Di Kota Kupang ada 30 orang pengusung jenazah yang dibiayai oleh Pemerintah Kota Kupang tapi sudah 3 bulan ini upah belum dibayar.
Seorang pengusung jenazah akan menerima upah sebesar Rp 525 ribu untuk satu jenazah yang diusung dalam proses pemakaman. Mungkin bagi sebagian orang memandang upah yang diberikan kepada mereka cukup besar tetapi resiko yang dihadapi juga besar dan tidak semua orang mau dan mampu melaksanakannya.
Karena itu, sudah seharusnya hak-hak mereka tidak boleh diabaikan. Mekanisme refocusing anggaran untuk Covid-19 juga harus diprioritaskan bukan hanya untuk pihak-pihak yang dianggap sebagai garda terdepan seperti tenaga medis tetapi juga pihak-pihak yang juga dengan perannya akan sangat strategis mendukung penghentian penyebaran virus ini, termasuk para pengusung jenazah, pengali kubur bahkan satuan tugas yang mengawal proses penanganan dan pemakaman jenazah Covid-19. (***)