Dikagumi Karena Keberanian Dan Nasionalismenya Yang Tinggi !!!~ editorial/Tim.WARNANTT
WARNA-NTT, KUPANG -- Izaak Huru Doko lahir di Seba, Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur pada 20 November 1913. Hidup di kota terpencil yang belum tersentuh sarana pendidikan yang layak membuat dia harus meninggalkan kampung halaman ke pulau Timor untuk menuntut ilmu.
Ia kemudian mendapat beasiswa masuk MULO di Ambon. Cak, begitu ia biasa dipanggil, juga dengan bekal beasiswa memilih menuntut ilmu di kota Bandung, Jawa Barat di Hollandsche Inlandsche Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru. Selain belajar, dia juga aktif berorganisasi. Bersama Herman Johannes, seorang mahasiswa Technische Hogeschool (sekarang ITB), ia memimpin perkumpulan Pemuda Timor (Timorsche Jongeren) yang memiliki cabang-cabang yang tersebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia.
Di masa silam, Izaak pernah menerima tantangan berkelahi dari seorang tentara Jepang yang mabuk dalam sebuah pesta peresmian sawah di Okamura (Noil Kaoek) di Amarasi.
Prof Maria Agustina Noach PhD MEd menyebut, sosok Cak Doko sebagai seorang tokoh yang mengagumkan. Kenangan indah pada tahun 1950, guru besar Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang itu masih seorang bocah kecil, pelajar Sekolah Rakyat (SR) Airnona, berdiri dalam barisan menyambut kedatangan Cak Doko, seorang pembesar, Menteri Muda Penerangan.
"Cak Doko pantas dan memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pahlawan bersama sederatan nama tokoh lainnya dari NTT. Cak Doko pantas dihargai dan diabadikan namanya sebagai pahlawan," tegas Prof Maria Noach dalam sarasehan bertajuk "Perjuangan Almarhum Izaak Huru Doko sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia" yang diselenggarakan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, baru-baru ini.
Sementara itu, putra kedua Cak Doko, Paul JA Doko SH seusai mewakili penerimaan Penganugerahan Pahlawan Nasional, kepada Pembaruan di Jakarta, Kamis (9/10), mengatakan pengangkatan sang ayah sebagai pahlawan adalah satu kebanggaan bagi rakyat Nusa Tenggara Timur. "Bahwa salah satu warga negara Indonesia asal NTT dan kawasan Timur Indonesia diakui perjuangannya melawan penjajah dan mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia," ujar Paul.
Paul menyebutkan upaya mempertahankan NKRI, terlihat. Cak Doko bersama sejumlah tokoh seperti Anak Agung Gede dan tokoh Indonesia Timur lain berjuang lewat Negara Indonesia Timur (NIT). Sekalipun mengambil langkah kooperatif dengan Belanda, mereka berjuang untuk membubarkan NIT dan kembali ke Republik Indonesia. Pola demikian karena kondisi geografis NTT kurang memungkinkan untuk berjuang secara fisik, akhirnya kooperatif dan berhasil. Paul menceriterakan nasihat ayahnya untuk selalu memberantas kemiskinan dan kebodohan harus melalui pendidikan.
"Sikap itulah yang membuat, ia memilih tetap menjadi pendidik. Saat Provinsi Sunda Kecil pada tahun 1958 dimekarkan menjadi tiga provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), ia ditunjuk menjadi gubernur pertama, tapi almarhum menolak dengan halus," ungkapnya.
Paul menambahkan saat penyerahan penganugerahan pahlawan di Istana kepada ayahnya, yang menerima bukan dirinya, tetapi putranya Bertho Izaac Doko, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD KNPI) Kepulauan Riau (Kepri) didampingi istrinya.
"Anak saya berhak menerima karena perjalanan hidupnya masih panjang dan generasi penerus perjuangan kakeknya. Sebuah kebanggaan bagi Bertho dan putra-putera NTT lainnya. Puji Tuhan bahwa ayah kami dan semua teman-teman seperjuangan untuk mempertahankan NKRI diakui pemerintah dan bangsanya," tandasnya.
Bentuk Organisasi
Menurut catatan Pakar Sejarah Undana, Prof Drs Munanjar Widiyatmika, Cak Doko putera ke-8 dari 9 bersaudara dari pasangan Kitu Huru Doko (Alm) dan Loni Doko (Alm).
Cak Doko mengenyam pendidikan pada Sekolah Desa antara tahun 1925-1928 di Sabu, kemudian melanjutkan ke MULO B di Ambon (1928-1934) dan HIK Bandung (1934-1937). Semasa pendidikan di HIK Bandung, Cak Doko bersama Herman Johannes, seorang mahasiswa Tecnische Hoge School (THS) dan beberapa teman lainnya di HIK, yakni Ch F Nadomanu, SK Tibuldji dan JHA Toelle mendirikan organisasi pemuda Timorsche Jongeren yang bertujuan untuk mempersatukan seluruh pelajar asal Keresidenan Timor yang sedang belajar di berbagai kota besar di Indonesia.
Sebagai media penghubung dan pemersatu, organisasi pemuda ini menerbitkan majalah De Timorshe Jongeren. Tahun 1937, mereka membentuk organisasi perjuangan dengan nama Perserikatan Kebangsaan Timor (PKT).
Cak Doko dipercaya sebagai ketua dan dibantu Ch F Nadomanu sebagai sekretaris. Lewat perjuangan PKT, HA Koroh, Raja Amarasi dicalonkan sebagai anggota Volksraad. PKT juga mementaskan sandiwara Koko Sonbai yang mengisahkan perjuangan rakyat Timor terhadap ketidakadilan penguasa kolonial Belanda. Ketika pasukan Jepang di bawah pimpinan Jenderal Hayakawa memasuki Kota Kupang, 20 Februari 1942, Cak Doko sempat ditodong dengan senapan berbayonet dan diperiksa tentara Jepang, namun kemudian dibebaskan.
Atas permintaan jemaat Protestan Tabun, bersama Pdt M Haba, Cak Doko menghadap Panglima Tertinggi Bala Tentara Jepang untuk melaporkan keadaan yang sangat mengganggu ketenangan batin umat beragama atas perintah pengumpulan wanita muda. Berkat diplomasi Cak Doko, akhirnya diperoleh jaminan, pengumpulan wanita muda hanya berlaku bagi wanita tunasusila saja.
Cak Doko sebagai Kepala Penerangan dan Kepala Seinendan juga dikenal karena berani membela kepentingan kaum perempuan. Ketika keluar perintah agar semua orang termasuk para istri pegawai untuk dikerahkan dalam kerja paksa pembuatan lubang perlindungan. Ia menyarankan agar wanita peliharaan Minseibu memberi contoh terdahulu dalam kerja paksa tersebut. Alhasi istri para pegawai lolos dari perintah tersebut.
Cak Doko mencatat, satu kenangan manis dalam sejarah perjuangannya, adalah ketika bersama HA Koroh menerima bendera Merah Putih dari pembesar Angkatan Laut Jepang untuk pertama kalinya dikibarkan berdampingan dengan bendera Hinomaru, dalam peringatan Hari Kelahiran Kaisar Jepang (Tenschu Setsu), 9 April 1945. Ketika Jepang menyerah pada tentara Sekutu, Ken Karikan (Kepala Pemerintahan Jepang) di Kupang, menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Dr A Gaebler sebagai wali kota, dibantu Tom Pello dan IH Doko. Kekuasaan pemerintahan itu diemban sampai pasukan sekutu mendarat di Kupang, 11 September 1945.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIK bandung, Cak Doko diangkat sebagai guru WLO pada Openbare Schakel School di Kupang, sejak 1 Maret 1937 hingga 1 Maret 1942, ketika balatentara Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda di Kupang. Zaman pendudukan Jepang, Cak Doko diangkat sebagai Bunkyo Kakari yang membawahi bidang pengajaran dan penerangan pada Kantor Minseibu Timor di Kupang, sejak 1 Maret 1942 sampai 1 September 1945.
bersamaan dengan itu, pada tahun 1944 ketika terbentuk Syo Sunda Syu (Provinsi Sunda Kecil), Cak Doko bersama Raja Amarasi, HA Koroh ditunjuk sebagai anggota Syo Sunda Sukhai Iin, semacam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berkedudukan di Singaraja - Bali.
Dituduh Antek Jepang
Ketika Jepang bertekuk lutut dalam Perang Dunia II, balatentara Jepang pun meninggalkan Kupang. pasukan NICA mengambil alih kekuasaan. 1 September 1945, Cak Doko diberhentikan dari tugasnya dan sempat menjalani masa tahanan atas tuduhan sebagai antek pasukan Jepang.
Namun, kemudian ia diperbantukan sebagai Kepala Kantor Displaces Persons pada Kantor HPB Kupang. Kariernya terus menanjak, ketika 1 Agustus 1947 dipercayakan sebagai Wakil Direktur Politik Redaktur pada Kabinet Presiden Negara Indonesia Timur (NIT).
Selanjutnya, 15 Januari 1948 - 12 Januari 1949, Cak Doko dipercayakan sebagai Menteri Muda Penerangan NIT. Jabatan selanjutnya adalah Menteri Penerangan NIT (1 Januari 1949-14 Maret 1950), Menteri Pengajaran NIT (14 Maret-10 Mei 1950). Cak Doko kembali dipercayakan sebagai Wakil Direktur Politik Redaktur pada kantor Menteri Pengajaran NIT (10 Mei - 1 Juli 1950).
Reprendaris diperbantukan pada kementrian Pengajaran NIT dengan tugas Wakil Sekretaris Jenderal, kemudian sebagai Reprendaris pada Kantor Inspeksi Pengajaran Provinsi Sunda Kecil di Singaraja (1 Juli - 25 Oktober 1950. Jabatan Inspektur Sekolah Rakyat Daerah Provinsi Sunda Kecil di Singaraja, sempat diemban antara 25 Oktober 1950-1 Januari 1951, selanjutnya sebagai Inspeksi Daerah dengan tugas Pimpinan Sekolah Rakyat Sunda Kecil merangkap Koordinator Inspeksi pengajaran Daerah Provinsi Sunda Kecil sejak 1 Januari 1951 hingga 1 September 1957.
Ketika Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terbentuk bersama Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB), Cak Doko memilih pulang kampung untuk menggenjot pendidikan di NTT yang masih jauh tertinggal dibanding daerah lainnya di Indonesia. Padahal, ia ditawarkan untuk ditempatkan sebagai pejabat pada Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) di Jakarta.
Cak Doko juga pernah menolak ketika akan dicalonkan sebagai Gubernur NTT yang pertama dan Anggota Konstituante. Akhirnya, Cak Doko diangkat sebagai Kepala Perwakilan PP dan K merangkap Kepala Dinas PP dan K NTT hingga pensiun pada tahun 1971.
Buah perjuangan dalam bidang pendikan di NTT, adalah pembangunan Kantor Perwakilan PP dan K NTT di Kupang, menggagas berdirinya Universitas Udaya di Denpasar - Bali (1959) dan Undana Kupang (1962), membentuk Yayasan Pendidikan Kristen (Yupenkris) yang mendorong berdirinya Sekolah Dasar (SD) Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang tersebar di berbagai pelosok di NTT serta mendirikan Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang pada tahun 1985 lalu.
Dalam membina rumah tangga, Cak Doko menikah dengan Dorkas Doko - Toepoe, 7 November 1938 dan memiliki empat putra, masing-masing Drs Benny Doko, Paul JA Doko SH, Viktor WF Doko dan Isayati M Doko.
"Cak Doko meninggal dunia di Kupang, pada tanggal 29 Juli 1985."
Untuk mengenang kepahlawanan Cak Doko, sebuah patung atau monumen torso IH Doko dibangun di sudut timur lapangan upacara yang diberi nama Alun-alun IH Doko di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT di Kupang.
(diangkat dari berbagai sumber terpercaya, kp)