Kejayaan Sunda Kecil, Pernah Jadi Primadona Maritim Dunia

asset-post_thumb-warnantt-local_stories

WARNANTT - MATARAM, Hampir semua pelabuhan di Kepulauan Sunda Kecil populer di abad ke-19. Selain menjadi jalur perdagangan laut domestik, rute pelayaran internasional juga memilih wilayah ini, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis.

"Sunda kecil menjadi pusat pelabuhan tak hanya di wilayah Timur Indonesia, tapi di Nusantara," kata I Gde Parimartha, guru besar sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, dalam dialog Arung Sejarah Bahari VII di Mataram, Selasa (27/11) malam.

Sunda Kecil adalah istilah untuk menyebut gugus pulau yang membentang dari Bali hingga Pulau Timor. Kawasan ini sejak abad ke-16 populer sebagai penyedia kayu cendana kualitas nomor satu, kopi, beras, dan penyedia budak.

Pelabuhan-pelabuhan seperti Ampenan, Bima, Sekotong, Pelabuhan Haji menjadi lokasi singgah dan bongkar muat kapal-kapal asing. "Kondisi lautnya yang dalam memungkinkan kapal-kapal besar singgah," katanya.

Singgahnya kapan-kapal di wilayah ini ikut mengantarkan warga dari aneka etnis untuk mengais rezeki di Sunda Kecil. Hingga kini, kelompok-kelompk seperi Bugis, Jawa, Cina, Arab, Buton, bahkan Melayu masih banyak dijumpai di kawasan ini. 

"Mereka hidup dalam harmoni, walau beda suku dan agama," katanya di depan 45 peserta Ajari VII yang terdiri mahasiswa pilihan dari seluruh provinsi di Indonesia.

Masa surut pelabuhan Sunda Kecil berbarengan dengan makin kuatnya cengkeraman Belanda. Masyarakat lokal terpinggirkan, dan pelabuhan dikuasai kongsi-kongsi Belanda. "Saat itu perlawanan mulai muncul," tambahnya.

Arung Sejarah Bahari adalah acara tahunan Direktorat. Sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ajari kali ini mengambil tema "Menjelajahi Peradaban Maritim di Sunda Kecil, Menatap Masa Depan".

Menurut Direktur Sejarah dan Nilai Budaya Kemendikbud, Endjat Djaenuderajat, acara ini diselenggarakan untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda pada keindonesiaan Indonesia yang tak dibangun dengan mudah.

"Tak banyak generasi muda saat ini yang mengetahui bahwa di masa lalu dunia kemaritiman kita pernah berjaya," katanya.



Begini Toleransi di Sunda Kecil Abad ke-18

Sebagai dampak jalur pelayaran internasional yang ramai di masa lampau, Sunda Kecil dihuni warga dengan beragam etnis dan agama.

Di Bali, selain penduduk asli yang beragama Hindu, juga tinggal pendatang dari Jawa, Bugis, Sasak, Cina, dan Timor. Umumnya mereka datang untuk berdagang. 

"Di Kuta pada tahun 1830, mereka berbaur dan hidup salam damai," kata I Gde Parimartha, Guru Besar Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, dalam diskusi sejarah dalam rangka Arung Sejarah Bahari VII.

Dalam catatan sejarah, saat itu 30 orang etnis Cina, 30 orang Bali Muslim, dan 400 orang Bali Hindu hidup berdampingan di pusat-pusat perdagangan dekat pantai.

Namun dalam 50 tahun, jumlahnya membengkak: terdapat 600 rbu jiwa orang Sasak, 50 ribu orang Bali, dan 6.000 orang Bugis, Melayu, Arab, Mandar, dan Cina.

Di Sunda Kecil, biasa pura berdampingan dengan masjid dan gereja. "Sebagai cerminan rasa hormat dalam berbahasa, orang Bali memanggil dengan sebutan Bapa dan Haji bagi penganut Islam, dan penduduk Muslim memanggil Jero kepada orang bali dari kalangan biasa," katanya.

Hingga kini, sisa harmonisasi ini masih bisa disaksikan di Desa Pegayaman, Bali. Masyarakat desa ini khas, karena menganut tradisi Bali dan Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pemberian nama, penduduk di desa ini memberikan nama-nama Islam pada putra-putri merekan namun juga tetap mempertahankan sistem penamaan secara Bali.

"Contohnya, ada yang bernama I Ketut Imanuddin Jamal," katanya. (dikutip dari: republika.co.id, kp)

Baca Juga
Previous Post Next Post

Editor's Choice

Jangan Lewatkan
Selalu Update Info Terkini
Follow This Blog
Ikuti Updetan Kami di GoogleNews

Simak breaking news dan berita pilihan dari WARNANTT di link "waranntt.blogspot.com". Klik https://warnantt.blogspot.com/ "Bae Sonde Bae, Tanah Timor Lebe Bae" !!!


Halaman Utama